Sejarah Hari Raya Idul Adha
Mengenai sejarah dari Hari Raya Idul Adha, maka tentu saja akan berkaitan dengan kisah teladan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Ya, kedua Nabi tersebut adalah termasuk dalam dua puluh lima Nabi yang harus diketahui oleh semua umat Islam. Hari Raya Idul Adha itu merupakan peringatan akan peristiwa kurban, yakni ketika Nabi Ibrahim bersedia untuk mengorbankan puteranya, Nabi Ismail. Hal tersebut dilakukan oleh Beliau sebagai bentuk kepatuhannya terhadap perintah Allah SWT.
Diceritakan pada kala itu, Nabi Ibrahim yang telah berusia lanjut (terdapat suatu riwayat yang menyatakan bahwa usia Beliau mencapai 85 tahun) bersama istrinya, Siti Hajar, belum dikaruniai seorang anak. Nabi Ibrahim sangat menginginkan kehadiran seorang anak laki-laki supaya kelak dapat meneruskan perjuangannya dalam menegakkan syiar ajaran Allah SWT di muka bumi ini.
Setiap hari, Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah SWT supaya segera diberikan keturunan. Saking tekunnya Beliau dalam berdoa, doanya diabadikan dalam Al-Quran, yakni pada surah Ash-Shaffat ayat 100:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “ Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. ”
Nah, melalui doa-doa tersebut akhirnya Allah SWT mewujudkan keinginan Nabi Ibrahim melalui istri keduanya, yakni Siti Hajar. Perlu diketahui bahwa Nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar tepat setelah Beliau melakukan kunjungan ke wilayah Mesir.
Selanjutnya, Nabi Ibrahim pun membawa Siti Hajar ke Mekah untuk tinggal disana. Keduanya melangsungkan pernikahan dan beberapa saat setelah itu, Siti Hajar mengandung hingga lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Peristiwa akan lahirnya anak laki-laki Nabi Ibrahim ini juga dituliskan dalam Al-Quran, yakni pada surah Ash-Shaffat ayat 101.
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ
Artinya: “ Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (bernama Ismail). ”
Sayangnya, kebersamaan Nabi Ibrahim dengan anak dan istrinya tidak dapat dirasakan dalam waktu yang lama. Sebab, Allah SWT memerintahkan Beliau untuk segera kembali ke istri pertamanya, yakni Siti Sarah di kota Yerusalem. Namun, meskipun begitu, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar tetap ikhlas dan tawakkal dalam menerima perintah-Nya. Bahkan, Allah SWT juga mengabadikan peristiwa tersebut ke dalam Al-Quran, yakni pada QS Ibrahim ayat 37.
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Artinya: “ Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezeki lah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Nabi Ibrahim tentu saja sangat berat hati dan sedih karena harus meninggalkan Siti Hajar dan Ismail yang kala itu masih menyusui, di daerah Mekkah. Beliau tidak langsung meninggalkan mereka begitu saja, tetapi melakukan persiapan dengan membekali istri dan anaknya dengan beberapa potong roti dan sebuah air di guci untuk diminum. Selama ditinggal oleh suaminya, Siti Hajar mengalami banyak sekali cobaan, salah satunya adalah kesulitan untuk menemukan sumber air minum yang layak untuk anaknya. Bahkan, pencariannya akan sumber air minum tersebut dilakukannya dengan cara berjalan cepat sebanyak tujuh kali, dari Shafa ke Marwah.
Nah, peristiwa akan pencarian sumber mata air itulah yang kemudian “diabadikan” dalam proses ibadah Sa’I yang menjadi salah satu rukun ibadah Haji, yakni dengan lari-lari kecil dari Shafa ke Marwah. Perlu kamu ketahui bahwa sumber mata air yang ditemukan oleh Siti Hajar tersebut menjadi sumber air abadi yang kemudian dinamakan sebagai zam-zam.
Setelah beberapa tahun kemudian, akhirnya Nabi Ibrahim kembali lagi ke Mekah untuk menemui Siti Hajar dan Ismail. Nabi Ibrahim tentu saja bahagia, apalagi Ismail sudah tumbuh menjadi anak yang sehat (dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada saat itu usia Ismail kira-kira 6-7 tahun). Namun, belum lama menikmati pertemuannya dengan keluarga tercintanya, Allah SWT memberikan ujian lagi kepada Nabi Ibrahim.
Pada saat itu, melalui mimpi, Allah SWT memberikan perintah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya, Ismail. Hal tersebut tentu saja membuat Nabi Ibrahim bimbang, karena itu merupakan perintah langsung dari Allah SWT, tetapi di sisi lain, Beliau juga sangat sayang kepada anaknya tersebut. Kemudian, dengan sekuat hati, akhirnya Nabi Ibrahim memberanikan diri untuk mengajak bicara dengan Ismail bahwa dirinya harus menyembelih anaknya tersebut.
Jawaban Nabi Ismail membuat Nabi Ibrahim kaget, sebab puteranya ternyata bersedia untuk dijadikan kurban sebagaimana perintah dari Allah SWT.
Akhirnya, waktu untuk menyembelih Ismail pun datang. Awalnya, Nabi Ibrahim sangat ragu untuk mengarahkan pisau kepada anaknya. Kemudian, Nabi Ismail berkata “Wahai Ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepadamu. Engkau akan menemuiku insyaAllah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah Allah SWT…”
Hal tersebut membuat Nabi Ibrahim bersedih sekaligus bersyukur, dan seraya berkata “Bahagialah aku mempunyai seorang putra yang taat kepada Allah SWT, bakti kepada kedua orang tua dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah SWT…”
Kemudian, ketika prosesi penyembelihan tiba, diikatkanlah kedua tangan dan kaki Ismail di atas lantai. Lalu Nabi Ibrahim dengan memejamkan matanya, memegang pisau (parang)nya ke arah leher Nabi Ismail dan penyembelihan pun dilakukan. Namun, Allah SWT langsung mengganti posisi Nabi Ismail tersebut dengan domba yang diturunkan dari langit. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran yakni pada QS As-Shaffat ayat 107-110.
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
Artinya: “ Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (As-Saffat: 107)
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ
Artinya: “ Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (As-Saffat: 108). ”
سَلَامٌ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
Artinya: (yaitu)” Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. (As-Saffat: 109)
كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “ Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. “ (As-Saffat: 110)
Melalui peristiwa penyembelihan Nabi Ismail yang kemudian digantikan menjadi hewan domba oleh Allah SWT itulah yang menjadikan sejarah dari Hari Raya Idul Adha. Tidak hanya itu, melalui peristiwa hidup yang dialami oleh Nabi Ibrahim beserta keluarganya juga menjadikan lahirnya Kota Makkah dan Ka’bah sebagai kiblat umat muslim di seluruh dunia beserta dengan keberadaan air zam-zam yang tidak pernah kering sejak ribuan tahun silam. Secara tidak langsung, keberadaan air zam-zam dan ibadah Sa’i juga menjadi tonggak perjuangan dari seorang wanita yang sabar dan tabah, yakni Siti Hajar.
Hikmah Peristiwa Idul Adha
1. Ketaqwaan
Pengertian “taqwa” itu berkaitan dengan ketaatan seorang Hamba kepada Sang Pencipta dalam upaya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim memiliki tingkat rasa ketaqwaan yang tinggi, sebab dirinya tetap melaksanakan perintah-Nya, sekalipun itu menyembelih anaknya sendiri. Atas ketaqwaan Nabi Ibrahim, kemudian Allah SWT menggantikan anaknya untuk disembelih dengan seekor domba.
2. Aspek Sosial (Hubungan Antar Manusia)
Dalam hal ini, dapat dilihat melalui proses pembagian daging kurban kepada para fakir miskin. Agama Islam mengajarkan kita untuk tetap mengedepankan rasa solidaritas dengan sesama manusia. Ketika puasa, kita secara tidak langsung merasakan bagaimana susahnya seorang dhuafa untuk memenuhi urusan perutnya.
Lalu, ketika kita memberikan hewan kurban untuk disembelih, daging hewan tersebut nantinya akan dibagikan kepada para fakir miskin sebagai bentuk kepedulian sosial seorang muslim kepada sesamanya. Hal ini juga memperlihatkan bahwa ciri khas dari agama Islam adalah mengajarkan untuk saling tolong-menolong.
3. Peningkatan Kualitas Diri
Dalam hal ini berkaitan dengan sikap empati, kesadaran diri, hingga pengendalian diri sebagai akhlak terpuji seorang Muslim.
Niat Shalat Idul Adha
Perlu diketahui bahwa jumlah rakaat dalam Shalat Idulfitri dan Idul Adha ini adalah dua rakaat. Namun, meskipun sama-sama mempunyai dua rakaat, tetapi niat Shalatnya juga berbeda, baik ketika menjadi sebagai Ma’mum atau sebagai Imam. Berikut adalah niat dari Shalat Idul Adha:
Niat Shalat Idul Idul Adha sebagai Ma’mum
أُصَلِّيْ سُنَّةً لعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مَأْمُوْمًا لِلهِ تَعَــــــــالَى
“Ushallii sunnatan li’idil adha rok’ataini makmuman lillahi ta’alaa.”
Artinya: “Aku berniat Shalat Idul Adha dua rakaat sebagai makmum karena Allah ta’ala.”
Niat Shalat Idul Idul Adha sebagai Imam
أُصَلِّيْ سُنَّةً لعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ إِمَامًا لِلهِ تَعَــــــــالَى
“Ushallii sunnatan li’idil adha rok’ataini imaaman lillahi ta’alaa.”
Artinya: “Aku berniat Shalat Iduladha dua rakaat sebagai imam karena Allah ta’ala.”
Bagaimana Pelaksanaan Ibadah Kurban?
Dalam pelaksanaan ibadah kurban, terutama ketika proses penyembelihan, harus memperhatikan hal-hal berikut ini.
1. Waktu penyembelihan, harus dilaksanakan tepat setelah pelaksanaan Shalat Ied Idul Adha.
Pada kala itu pernah terjadi, seorang sahabat Nabi bernama Abu Burdah melakukan penyembelihan binatang qurban sebelum melaksanakan Shalat Ied. Kemudian Nabi Muhammad menghukum dengan daging sembelihannya diganti menjadi daging biasa, bukan daging kurban.
2. Binatang yang akan disembelih tidak boleh cacat dan harus memiliki tubuh gemuk.
Hal ini karena pada Nabi Ibrahim hendak menyembelih Nabi Ismail, binatang yang menggantikan Nabi Ismail disebutkan dengan kata “bi dzibhin adzimin” yang artinya “sembelihan yang gemuk”.
3. Daging penyembelihan kurban harus diprioritaskan untuk fakir miskin.
Pada zaman Rasulullah, sahabat Nabi bernama Umar kebagian daging kurban. Namun, Beliau marah ketika menerimanya, kemudian Nabi Muhammad berkata “Terima saja, setelah itu terserah kamu…”
4. Orang yang berkurban, diperbolehkan mengambil bagian dari daging kurbannya untuk dikonsumsi. Namun, tidak lebih dari sepertiga daging kurban yang disembelih.
Hal-Hal Mengenai Penyembelihan Hewan Kurban
1. Disyariatkan bagi setiap keluarga
Dalam hal ini mengacu pada sebuah hadis. Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i dari hadis Mikhna bin Salim, bahwa dia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda: “Wahai sekalian manusia atas semua keluarga pada setiap tahun wajib ada sembelihan (udhiyah).”
2. Kurban paling sedikit adalah seekor kambing
Hal ini berdasarkan pada hadis Al-Mahally yakni “unta dan sapi cukup untuk tujuh orang. Sedangkan seekor kambing mencukupi untuk satu orang.”
3. Waktu penyembelihan kurban adalah setelah melaksanakan Shalat Idul Adha
Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang bersabda: “Barangsiapa menyembelih sebelum Shalat, hendaklah menyembelih sekali lagi sebagai gantinya, dan siapa yang belum menyembelih hingga kami selesai Shalat, maka menyembelihlah dengan Bismillah.”
4. Sembelihan terbaik adalah yang paling gemuk
Hal ini berdasarkan pada hadis Abu Rafi’ yang bersabda: “Bahwa Nabi Muhammad SAW bila berkurban, Beliau membeli dua gibas (kambing) yang gemuk.”
5. Umur kambing harus kurang dari satu tahun
Hal ini berdasarkan pada hadis Jabir dalam riwayat Muslim, yang berkata, Bersabda Rasulullah: “Janganlah engkau menyembelih melainkan musinnah (kambing yang telah berumur dua tahun) kecuali bila kesulitan maka sembelihlah Jadzu (kambing yang telah berumur satu tahun.)”
6. Tidak mencukupi selain dari ma’zun
Ma’zun adalah sejenis kambing yang kurang dari dua tahun. Hal ini berdasarkan pada hadis Abu Burdah dalam shahihain dan lainnya, yang berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai hewan ternak ma’zun jadz’u. Lalu Beliau berkata: Sembelihlah, dan tidak boleh untuk selainmu…”
7. Hewan kurban tidak boleh sakit dan cacat
Dalam hal ini, hewan kurban tidak boleh buta sebelah, sakit, pincang, kurus, hingga hilang setengah tanduk atau telinganya. Berdasarkan pada hadis Al-Barra yang berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Empat yang tidak diperbolehkan dalam berkurban, (hewan kurban) buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas bengkoknya dan tidak sanggup berjalan, dan yang tidak mempunyai lemak (kurus)”.
8. Bersedekah dari Udhiyah, memakan, dan menyimpan dagingnya
Berdasarkan hadits Aisyah RA: “ Bahwa Nabi saw bersabda Makanlah, simpanlah dan bersedekahlah. ”
9. Menyembelih di Mushalla
Tepatnya di lapangan yang digunakan untuk Shalat ied, adalah hal utama. Untuk menampakkan syi’ar agama, berdasarkan hadist Ibnu Umar dari Nabi Muhammad SAW: “Bahwa beliau menyembelih dan berkurban di Mushala”.
10. Bagi pemilik hewan kurban, tidak diperbolehkan untuk memotong rambut dan kukunya
Larangan tersebut tepatnya dilakukan setelah masuknya 10 Dzulhijjah hingga waktu dia berkurban. Berdasarkan hadits Ummu Salamah, bahwa RA bersabda.“Apabila engkau melihat bulan Dzul Hijjah dan salah seorang kalian hendak berkurban, maka hendaklah dia menahan diri dari rambut dan kukunya”.
Catatan : Hari Raya Idul Adha di Indonesia ada yang dilaksanakan tanggal 09 Juli 2022 & 10 Juli 2022.